
Tahun lalu, dunia hiburan menjadi lebih hidup dari sebelumnya. Film-film yang ditunggu-tunggu, serial yang akhirnya keluar setelah berbulan-bulan ditunda, dan konten streaming yang nggak pernah habis—semua itu membuat kita semua terperangkap dalam gelombang film marathon yang hampir tak terbendung. Tapi, ada satu fenomena yang mencolok: hampir semua orang tiba-tiba menjadi reviewer film tanpa sertifikat.
Dulu, kita mungkin hanya melihat film lewat lensa hiburan semata, tapi tahun lalu, segalanya berubah. Media sosial dipenuhi dengan review, komentar, hingga analisis mendalam tentang plot, karakter, hingga sinematografi. Ini bukan tentang siapa yang bekerja di industri film atau siapa yang punya pengalaman bertahun-tahun dalam dunia kritik. Semua orang bisa berbicara tentang film, bahkan yang baru pertama kali menontonnya. Apakah ini perkembangan yang menyenangkan, atau justru menunjukkan gejala yang lebih besar tentang perubahan cara kita mengonsumsi hiburan?
Media Sosial: Tempat Baru untuk Mengungkapkan Pendapat
Sebelum era sosial media yang begitu besar, ulasan film biasanya datang dari kritikus berlisensi di koran atau majalah hiburan terkenal. Namun, tahun lalu, platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok telah membuat kita semua merasa lebih dekat dengan dunia film. Orang-orang yang sebelumnya tak pernah berkomentar tentang film sekarang bisa dengan mudah memberikan opini mereka—baik melalui tweet, story Instagram, ataupun video TikTok yang jadi viral.
Dalam sekejap, kita bisa mengakses pendapat orang lain tentang film yang baru kita tonton. Kadang, pendapat orang yang kita anggap “biasa” justru lebih menarik daripada ulasan formal dari kritikus yang sudah berpengalaman. Ini memberi kita rasa keterhubungan dengan sesama penonton, yang mungkin pernah merasakan hal yang sama setelah menonton film tertentu.
Film Sebagai Objek Pembicaraan Kolektif
Ada sesuatu yang menarik ketika kita berbicara tentang film sebagai topik pembicaraan. Tahun lalu, lebih dari sebelumnya, film bukan hanya tentang hiburan. Film menjadi objek diskusi kolektif yang melibatkan segala lapisan masyarakat, dari teman-teman di grup chat, kolega di kantor, hingga followers di media sosial.
Kita bukan hanya berbicara tentang apakah film itu bagus atau tidak, tetapi kita mulai mengulas karakter, plot twist, bahkan makna filosofis di balik cerita.
Tidak jarang, perbincangan mengenai film tersebut berkembang menjadi perdebatan panjang. Siapa yang benar-benar paham dengan film? Apakah kita hanya menilai film berdasarkan plot atau justru pengalaman emosional yang kita dapatkan setelah menontonnya?
Penyebaran Review yang Begitu Cepat dan Luas
Ketika kita duduk untuk menonton film, banyak di antara kita yang sudah tahu apa pendapat orang lain. Satu tweet atau satu video TikTok bisa langsung mempengaruhi opini kita, bahkan sebelum kita menekan tombol “play”. Tahun lalu, ini semakin terasa—ulasan tentang film menjadi semakin cepat dan luas, hampir secepat kita selesai menontonnya.
Ini memunculkan fenomena unik: kita mungkin merasa bahwa menonton film adalah pengalaman yang sangat pribadi, tetapi hampir selalu ada suara-suara lain yang mempengaruhi cara kita memandangnya.
Namun, hal ini juga menciptakan ketergantungan terhadap opini orang lain. Terkadang, kita tidak benar-benar merasa puas dengan pendapat kita sendiri tanpa mengecek terlebih dahulu apa yang orang lain katakan.
Kenapa Semua Orang Tiba-Tiba Jadi Kritikus?
Ada beberapa alasan mengapa tahun lalu kita semua mulai menganggap diri kita sebagai kritikus film:
- Aksesibilitas: Akses terhadap film dan media digital semakin mudah. Dengan layanan streaming, film tidak lagi terbatas hanya pada bioskop atau DVD. Kita bisa menonton apapun, kapanpun kita mau, dan langsung memberikan komentar.
- Kepopuleran di Media Sosial: Media sosial memberi platform bagi siapapun untuk berbagi pendapat, mulai dari meme lucu hingga analisis mendalam. Pengaruh influencer dan kreator konten yang memulai pembahasan tentang film membuat banyak orang merasa tertarik untuk berbagi pandangannya.
- Keterhubungan Emosional: Menonton film bukan hanya soal menikmati hiburan. Banyak film yang menyentuh perasaan, membuka pikiran, atau bahkan memberi kita wawasan baru tentang dunia. Ketika kita merasa begitu terhubung dengan sebuah cerita, kita ingin berbagi perasaan itu dengan orang lain, bahkan melalui komentar online.
Film sebagai Terapi Sosial
Tahun lalu, film menjadi lebih dari sekedar narasi hiburan. Film memberi kita ruang untuk berdiskusi, untuk berbagi perspektif, dan untuk merasa lebih terhubung dengan orang lain. Di dunia yang penuh ketidakpastian, film memberi kita pelarian sementara, dan berbicara tentangnya dengan orang lain menjadi cara kita untuk menyusun kembali pemahaman kita terhadap dunia.
Kita semua adalah reviewer film tanpa sertifikat—tapi itu bukan masalah. Setiap pandangan kita berharga, karena setiap pengalaman menonton adalah unik dan pribadi. Jika tahun lalu mengajarkan kita satu hal, itu adalah bahwa film tidak hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk dibicarakan, dianalisis, dan dirayakan bersama.
Tahun lalu kita bukan hanya menonton film, kita juga mendalami maknanya bersama-sama. Maka, terlepas dari apakah kita seorang kritikus profesional atau hanya penonton biasa, kita semua bisa menyebut diri kita “reviewer film“. Dan mungkin itu hal yang paling menyenankan, bahwa pandangan kita bisa dibagikan, dihargai, dan bahkan diperbincangkan dengan cara yang sangat menyenangkan.