
Setiap akhir tahun, salah satu ritual yang diam-diam dinanti banyak orang adalah… bukan resolusi, bukan juga promo Harbolnas, tapi Spotify Wrapped. Yap, kumpulan data musik tahunan dari Spotify ini bisa membuat kita tertawa, malu, bangga, sampai overthinking—dalam waktu bersamaan. Karena, anehnya, Wrapped bukan cuma tentang lagu. Ia seperti cermin digital yang menunjukkan siapa kita selama satu tahun terakhir. Tanpa sensor. Tanpa filter.
Lucunya, dari sekian banyak aplikasi dan data yang kita hasilkan di internet, justru Wrapped terasa paling personal. Dan entah kenapa, dia bisa membuat kita merasa sangat “terlihat”.
Musik = Emosi yang Tertinggal
Bayangkan ini: kamu buka Wrapped, terus muncul lagu paling sering kamu dengarkan sepanjang tahun. Dan ternyata itu… lagu sedih yang kamu ulang-ulang habis putus cinta di bulan Februari. Kamu kaget, lalu ketawa getir. Tapi kamu juga sadar—”ya ampun, ternyata aku belum move on selama itu ya?”
Wrapped tidak hanya mengingatkan kita pada lagu-lagu yang catchy, tapi juga emosi yang kita simpan diam-diam. Musik ternyata menyimpan memori. Dan Wrapped membukanya satu per satu, seperti buka jurnal narasi yang kamu sembunyikan di laci.
“Lagu ini nemenin gue pas lembur tiap malam…”
“Lagu ini yang muter pas aku lagi ngerasa dunia nggak adil…”
“Lagu ini yang bikin aku bisa bangkit lagi waktu hampir nyerah…”
Jadi ketika Wrapped muncul, itu bukan sekadar statistik. Tapi semacam sesi nostalgia emosional digital. Kita dikenalkan ulang dengan versi diri kita yang pernah menangis, menari, marah, semangat, atau justru hilang arah.
Genre Musik = Cermin Mood Setahun
Menariknya lagi, Spotify Wrapped juga menampilkan genre musik yang paling sering kamu dengarkan. Dan dari situ, kita bisa menyusun potret mood kita setahun ke belakang.
Wrapped mengajak kita untuk mengenali pola yang mungkin nggak kita sadari. Ia seperti teman lama yang bilang, “hei, kayaknya kamu lagi butuh istirahat, deh.”
Wrapped = Ajang Curhat Kolektif
Salah satu bagian paling lucu dan menyenangkan dari Wrapped adalah: semua orang membagikannya. Feed Instagram, story WhatsApp, bahkan thread Twitter/X jadi penuh dengan screenshot Wrapped.
Tapi bukan soal pamer—melainkan soal keterhubungan.
Saat kamu melihat seseorang punya lagu galau yang sama denganmu di Top 5, kamu merasa relate. Saat ada yang sama-sama masuk 1% top listener sebuah band indie favoritmu, kamu jadi merasa punya komunitas kecil yang spesial. Dan saat kamu lihat genre aneh-aneh kayak “escape room” atau “slap house” muncul di daftar temanmu, kamu jadi tertawa bersama tanpa perlu penjelasan.
Wrapped jadi semacam curhatan kolektif tentang siapa kita di balik layar laptop dan earphone. Dan dari situ, muncul diskusi, tawa, sampai refleksi yang menyenangkan. Kita jadi sadar: ternyata kita nggak sendirian dalam emosi-emosi itu.
Berkenalan Lagi dengan Diri Sendiri
Hal paling menyentuh dari Wrapped adalah ketika kamu menyadari:
“Oh, jadi begini ya perjalanan emosiku selama setahun kemarin?”
Kadang kita terlalu sibuk untuk menyadari apa yang kita rasakan. Tapi Wrapped membuat kita berhenti sebentar dan melihat ke belakang. Bukan lewat foto, tapi lewat lagu. Kita belajar bahwa yang menemani kita bukan hanya orang-orang, tapi juga musik.
Dari lagu patah hati ke lagu penyemangat.
Dari nada sendu ke beat ceria.
Dari 5 detik pertama intro lagu, kita bisa langsung ingat di mana kita berada saat pertama kali mendengarnya.
Dan itu indah.
Akhir Kata: Terima Kasih Spotify, Udah Jadi Teman yang Diam-Diam Mengerti
Wrapped memang bukan satu-satunya cara mengenal diri. Tapi di dunia digital yang cepat dan kadang hampa, ia jadi titik jeda yang manusiawi. Ia membuat kita melihat bahwa di balik semua hal absurd, produktif, dan melelahkan di 2023, ada lagu-lagu yang menemani. Dan ada versi diri kita yang bertahan, meski kadang cuma dengan bantuan satu lagu yang terus diulang-ulang.
Jadi, tahun depan… apa kira-kira soundtrack hidupmu?