
Kita sering membayangkan review film sebagai sesuatu yang teknis—bicara soal sinematografi, akting, alur cerita, atau skor musik. Tapi di era digital sekarang, review film bisa berubah jadi bentuk curhat yang menyamar. Bahkan kadang, menulis atau membaca review bisa lebih menyentuh daripada isi filmnya sendiri.
Tahun lalu, saya menyadari bahwa review film di media sosial, blog, atau bahkan di kolom komentar TikTok adalah tempat terapi kolektif yang tak terduga. Saat orang lain bilang, “film ini biasa aja”, ada yang justru merasa, “film ini menyelamatkan aku di titik paling gelap hidupku.”
Dan jujur, itu bikin aku mikir: mungkin kita semua sedang menjalani sesi terapi, tapi bedanya… kita duduk di bioskop dan membayar tiketnya.
1. Film Sebagai Cermin Emosional
Pernah nonton film dan merasa seperti baru saja ditampar realitas? Kayak karakter utama itu kamu banget. Atau bahkan plot twist-nya terasa kayak jawaban atas pertanyaan hidupmu yang belum selesai. Di situlah emosi pribadi mulai bercampur dengan cerita di layar.
Beberapa orang bisa nonton film horor dan keluar dengan pikiran, “wah, efek suaranya keren banget.” Tapi orang lain bisa nonton film drama sederhana dan pulang dengan mata bengkak dan hati campur aduk. Lalu mereka menulis review. Tapi bukan sekadar menilai, melainkan membagikan perasaan yang tidak sempat dibicarakan ke siapa-siapa.
Sebuah review bisa berbunyi:
“Adegan waktu dia ditinggal sendirian di halte malam-malam itu, persis seperti perasaan aku waktu ditinggal pas lagi butuh-butuhnya…”
Kalimat itu bukan kritik teknis. Tapi itu tulisan dari hati, dan pembacanya pun bisa merasa lebih “nyambung” karena pernah di posisi yang sama. Kadang, bukan plot-nya yang penting, tapi rasa yang ditinggalkan.
2. Kritik Film = Jurnal Emosional Kolektif?
Yang menarik, semakin banyak review yang muncul bukan dari jurnalis atau kritikus profesional, tapi dari penonton biasa yang jujur banget soal perasaannya. Di Letterboxd, misalnya, review-review narasi singkat tapi emosional jadi favorit. Bahkan yang isinya cuma, “I sobbed. That’s it. Just sobbed.” bisa dapet ribuan likes.
Itu karena kita semua mencari keterhubungan.
Di situ, kritik film bukan lagi soal ‘bagus atau nggaknya’ dari sisi teknis. Tapi soal, “kenapa film ini nendang banget buat aku?” Orang menulis karena pengen dimengerti. Dan ternyata, membaca perasaan orang lain tentang film yang sama bisa menyembuhkan. Kritik jadi semacam bentuk validasi perasaan.
Misalnya, kamu baru putus dan nonton La La Land lagi. Lalu kamu nulis:
“Ending-nya ngga adil, tapi mungkin itu realita yang kita harus terima. Kadang cinta bukan tentang bersatu, tapi tentang jadi versi terbaik diri kita masing-masing.”
Boom. Kamu baru aja bikin terapi kecil lewat satu paragraf.
3. Dari Layar ke Hati: Film Sebagai Ruang Aman
Film adalah seni. Dan semua bentuk seni selalu membuka peluang buat refleksi diri. Tapi di era sekarang, film juga jadi tempat pelarian, tempat pembelajaran, bahkan tempat penyembuhan. Nggak heran kalau banyak review yang terdengar seperti: “Aku nggak tahu kenapa, tapi film ini bikin aku merasa dilihat.”
Di tahun 2023, film seperti Everything Everywhere All At Once atau Past Lives menjadi contoh nyata bagaimana cerita absurd atau romantis bisa membawa penonton ke perjalanan emosional yang personal banget. Dan komentar orang-orang? Penuh air mata, penuh kenangan, penuh kalimat yang seharusnya mereka sampaikan ke diri mereka sendiri sejak lama.
Review-nya tidak berhenti di “bagus” atau “nggak masuk akal”, tapi menjadi kisah panjang tentang perasaan.
4. Penutup: Bukan Hanya Menonton, Tapi Mengalami
Review film bukan lagi milik kalangan kritikus. Kini semua orang bisa jadi reviewer—dan mereka menulis dari hati. Ketika kamu membaca review yang emosional, kamu merasa lebih manusia. Ketika kamu menulis review yang jujur, kamu sedang menyembuhkan luka lama.
Jadi, lain kali kalau kamu merasa “lebay” karena nangis nonton film animasi atau film romcom remeh, ingat: perasaan itu valid. Dan kalau kamu mau menulis review sebagai pelampiasan, lakukanlah. Karena bisa jadi, review kamu bukan hanya jadi kritik… tapi jadi terapi buat diri sendiri dan orang lain.