narasikita.info 6 Desember 2023

Setiap tahun membawa dramanya sendiri. Namun tahun 2023 terasa seperti panggung sandiwara raksasa yang mempertemukan kita dengan tokoh-tokoh baru, mempertemukan konflik batin dan interaksi sosial yang kadang terlalu lebay, terlalu sunyi, atau terlalu absurd untuk dipahami saat itu juga. Tapi justru dari situ, kita belajar satu hal penting: memahami orang lain adalah proses yang panjang, penuh warna, dan seringkali tidak logis—tapi sangat manusiawi.
Tahun lalu, saya menjalani banyak momen yang terasa seperti skrip drama. Ada yang kocak, menyebalkan, membingungkan, dan menyentuh di saat bersamaan. Dan lewat semua itu, saya mulai belajar: orang tidak selalu seperti yang kita pikirkan, dan tidak semua reaksi punya penjelasan sederhana.
Januari – Maret: Drama Kantor, Ekspresi yang Salah, dan Pelajaran tentang Empati
Awal tahun 2023, saya mengalami konflik kecil di kantor. Seorang rekan kerja tiba-tiba bersikap dingin, padahal biasanya ia sangat ramah. Saya sempat menebak-nebak—mungkin saya menyinggung sesuatu? Mungkin ada gosip? Atau mungkin dia memang menyebalkan?
Tapi suatu hari, saat kami pulang bersamaan, dia bercerita: ibunya sedang sakit keras di kampung halaman. “Aku cuma nggak bisa fokus ke apa pun sekarang,” katanya lirih. Saya terdiam. Rasa bersalah menyergap.
Dari situ saya belajar: kita sering menilai orang dari perilaku luar tanpa tahu badai apa yang sedang mereka hadapi di dalam. Dan kadang, orang hanya butuh ruang. Bukan penilaian.
April – Mei: Pertemanan yang Melebar Karena Obrolan Receh
Salah satu kejadian paling absurd tapi indah tahun lalu adalah saat saya membalas story Instagram seseorang hanya karena dia memposting nasi goreng sarden. Obrolan kami berlanjut dari makanan ke hobi, dari hobi ke pengalaman masa kecil, dari masa kecil ke trauma keluarga (ya, secepat itu!).
Saya berpikir, kok bisa ya, dari nasi goreng jadi diskusi eksistensial?
Ternyata, memahami orang lain tidak harus selalu lewat momen serius. Justru dari obrolan ringan, kita bisa membuka celah ke hati seseorang. Kita bisa menemukan bahwa orang itu punya cara pandang unik, luka yang belum sembuh, mimpi yang belum diceritakan pada siapa pun.
Setiap orang punya cerita. Kadang mereka cuma butuh seseorang yang mau bertanya.
Juni – Juli: Bertengkar dengan Teman Lama, dan Menyadari Bahwa Semua Orang Bisa Salah
Pertengkaran saya dengan teman lama tahun lalu cukup keras. Kami berdebat tentang hal sepele, tapi berujung pada saling sindir di grup chat. Hubungan yang sudah berjalan lebih dari 7 tahun itu hampir runtuh karena ego.
Beberapa minggu kemudian, saya menemukan pesan suara dari dia di email, dikirim jam 2 pagi: “Gue gak tahu cara bilang ini, tapi gue nyesel banget. Gue cuma capek, dan harusnya gak nyakitin lo.”
Saya nangis waktu dengar itu.
Kita sering lupa bahwa orang yang kita kenal paling lama pun bisa lelah. Mereka bisa salah. Mereka bisa marah, bukan karena kita, tapi karena diri mereka sendiri. Dan saat mereka minta maaf, itu bukan tanda kelemahan, tapi keberanian.
Memahami orang lain adalah tentang memberi ruang bagi mereka untuk jadi manusia yang tidak selalu sempurna.
Agustus – September: Bertemu Orang Baru yang Mengubah Perspektif
Di sebuah acara relawan, saya bertemu dengan seseorang bernama Dito. Dia orang yang sangat ceria, enerjik, dan selalu bikin semua orang tertawa. Tapi saat hanya berdua, dia berkata, “Gue begini bukan karena hidup gue sempurna. Tapi karena gue gak pengen orang lain ngerasa sendiri kayak yang pernah gue rasain dulu.”
Saya terdiam. Dan saya sadar, banyak orang yang menutupi luka dengan cara membantu orang lain tersenyum. Kita tidak pernah tahu perjuangan seperti apa yang mereka lewati untuk bisa setegar itu.
Dari Dito, saya belajar bahwa keramahan tidak selalu berarti bahagia. Kadang, itu bentuk perlawanan paling indah terhadap luka batin.
Oktober – November: Bertemu dengan Diri Sendiri Lewat Cermin Orang Lain
Interaksi sosial kadang seperti cermin. Saat kita mengeluh orang lain egois, ternyata itu juga cerminan dari apa yang kita lakukan. Saya pernah menganggap seorang teman terlalu “clingy,” selalu ingin diperhatikan, selalu curhat soal masalahnya. Saya mulai menjaga jarak.
Tapi suatu malam, saya mendengar seseorang bilang tentang saya, “Dia itu susah banget didekati. Selalu nutup diri.”
Saat itu saya sadar, saya terlalu fokus menilai orang lain tanpa menyadari bahwa saya juga punya pola sendiri yang tidak selalu baik. Dan momen itu menjadi titik balik untuk melihat orang bukan dari kekurangannya, tapi dari kebutuhan emosionalnya.
Desember: Menutup Tahun dengan Lebih Banyak Rasa Mengerti
Menjelang akhir tahun, saya mulai menyadari bahwa tahun 2023 mengajarkan saya satu hal penting: tidak semua hal harus dimengerti secara logika. Tapi semua orang bisa dipahami jika kita cukup sabar untuk mendengar.
Tahun lalu penuh drama. Tapi bukan drama sinetron. Ini drama kehidupan nyata yang mempertemukan kita dengan manusia dalam bentuknya yang paling rawan, paling rapuh, dan paling nyata.
Mulai dari rekan kerja yang diam-diam berjuang sendiri, teman yang menangis diam-diam karena merasa ditinggalkan, orang asing yang memberi pelajaran besar lewat obrolan kecil, hingga orang terdekat yang akhirnya mengajarkan arti memaafkan—semuanya membentuk kita jadi pribadi yang (semoga) lebih manusiawi.
Penutup: Drama Absurd Itu Ternyata Adalah Proses
Kita mungkin tertawa saat melihat kembali kejadian-kejadian aneh tahun lalu—dari yang bikin sebel, nyesek, sampai absurd tanpa ujung. Tapi dari semua itu, kita menyadari bahwa setiap manusia punya dramanya masing-masing.
Dan saat kita cukup berani untuk menyaksikan drama itu tanpa menghakimi, saat itulah kita belajar: memahami orang lain bukan tentang menemukan jawaban, tapi tentang berjalan bersama di tengah kebingungan mereka.
Selamat datang di dunia nyata, tempat drama tidak pernah absen, tapi justru dari situ kita belajar untuk menjadi manusia yang lebih lembut hati dan lebih luas pikirannya.